Bangsa Indonesia adalah juara dunia dalam hal “kebiasaan berbagi di antara anggota masyarakat” baik antara yang kaya dan miskin, maupun antara mereka yang sama tingkatan status ekonominya. Artinya kaya miskin tidak menghalangi orang untuk berbagi dalam keseharian kehidupannya. Hal seperti itu masih sangat nyata terasa dan terlihat terutama di kalangan pedesaan dan kota-kota kecil di berbagai penjuru tanah air, sementara didaerah-daerah urban situasi dan kejadiannya agak berbeda alias lebih cenderung kehilangan semangat kebersamaannya.
Kalau kita juara dunia dalam hal semangat berbagi, anda juga tahu bahwa Amerika Serikat adalah juara dunia dalam hal depresi! Artinya bangsa yang anggota masyarakatnya paling banyak mengalami depresi adalah Amerika Serikat. Semangat individualism yang terlalu kuat ternyata menimbulkan hubungan dan relasi-relasi yang hambar antar anggota masyarakat – karena satu sama lain menganggap orang lain sebagai entah orang asing (liyan), atau competitor, bahkan lawan yang harus ditaklukan.
Maka kemudian muncullah berbagai macam kelompok identitas sebagai kompensasi pengganti hilangnya semangat kebersamaan dalam masyarakat. Dan kelompok-kelompok ini biasanya alasan dasar keberadaannya adalah hal-hal promodial (suku, ras, agama, warna kulit). Dalam kelompoknya masing-masing orang-orang merasa aman-nyaman, tetapi terhadap orang-orang dari kelompok lain mereka akan cenderung memperlakukan sebagai pihak yang bersebrangan. Jadilah kemudian persaingan yang entah tidak perlu entah tidak sehat.
Gejala tidak sehat itu timbul dan tampak dimana? Anda bisa melihat dengan sedikit kejelasan misalnya pada kelompok-kelompok warga masyarakat yang mengatasnamakan kepentingan umum untuk kepentingannya sendiri saja. Bukan “bonum commune” – kebaikan bersama / kesejahteraan umum yang mereka perjuangkan dalam berbagai acara dan kegiatan yang mrereka lakukan, melainkan kemajuan dan kepentingan kelompoknya sendiri. Bukan kemajuan bersama yang diinginkan melainkan kemajuan kelompoknya sendiri, bahkan untuk hal yang sama mereka merasa berhak sedangkan orang lain dikatakan tidak boleh.
Untunglah ditengah-tengah hiruk pikuk persaingan dan praktek-praktek yang tidak sehat ini juga punya cerita-cerita tentang semangat berbagi dan kebersamaan yang banyak terjadi dalam masyarakat perdesaan terutama. Sudah saatnya juga kita orang-orang kota belajar dari semangat kebersamaan orang-orang desa karena sesungguhnya kita semua ini adalah makhluk sosial – kita ini aslinya adalah orang-orang kawanan. Bukankah kehidupan yang terlalu individualisti menjadikan kita-kita ini orang-orang yang asing satu sama lain – bahkan asing terhadap diri kita sendiri?!
Itulah sebabnya maka kemudian sebagian besar kita lalu tanpa sadar lari dan mencari kompensasi pada relasi-relasi mekanis dalam media sosial. Sebagai orang kawanan sesungguhnya kita merindukan perjumpaan-perjumpaan tatap muka – bukan perjumpaan tidak nyata alias virtual yang jelas tidak original dan tidak merepresentasikan diri kita seutuhnya atau apa adanya. Semoga mulai sekarang ini kita terus mencari jalan-jalan kreatif untuk saling membantu menemukan diri, bukan malah menjadi semakin terasing satu sama lain lalu stress dan depresi