Pada tanggal 18 – 31 Juli 2022, saya dan Frater Adit berkesempatan untuk ikut live-in di pasturan Santo Martinus. Kesempatan live-in ini merupakan waktu khusus yang diberikan seminari kepada kami untuk ikut berdinamika bersama dengan para Romo dan Umat Paroki Santo Martinus. Kami berasal dari Seminari Tinggi Fermentum. Seminari ini merupakan tempat pendidikan khusus bagi para calon imam Keuskupan Bandung. Kegiatan live-in ini sangat berguna bagi kami. Kami dapat mengenal semakin banyak paroki-paroki di Keuskupan Bandung yang nantinya akan menjadi medan pastoral kami di masa depan.
Saya belajar hal menarik ketika berdinamika bersama dengan umat Paroki Santo Martinus. Jarak pasturan dan paroki terletak cukup jauh. Setidaknya perlu waktu 15 menit agar saya dan Frater Adit dapat sampai di paroki untuk mengikuti misa harian setiap harinya. Kami disambut dengan hangat oleh umat di paroki. Mayoritas dari mereka yang hadir dalam misa harian adalah orang tua. Ungkapan yang menyatakan bahwa umur hanyalah angka dapat saya pahami ketika berjumpa dengan mereka. Tidak hanya itu, saya juga berjumpa dengan Suster Lia yang berkarya di Panti Asuhan Bhakti Luhur. Suster Lia adalah salah satu anak muda yang dengan berani menyerahkan seluruh hidupnya dalam pelayanan kepada Tuhan dan Gereja-Nya.
Kami juga sempat pergi ke stasi-stasi yang ada di Paroki St. Martinus. Pengalaman mengunjungi stasi-stasi yang ada di Paroki St. Martinus. Pengalaman mengunjungi stasi-stasi yang ada di Paroki St. Martinus memperlihatkan bahwa paroki ini memiliki cakupan wilayah Pastoral yang sangat luas. Saya dan Frater Adit pergi ke Stasi Ciwidey dan bertemu dengan pak Supar beserta istrinya. Kapel di Stasi ini terletak di sudut belakang kebun milik bapak Supar. Meskipun letaknya tersembunyi dan terpencil, Stasi Ciwidey dengan setia berdiri demi menjaga iman umat yang tinggal jauh dari paroki pusat. Di lain hari, saya, Frater Adit dan Romo Yudhi mengunjungi Stasi Kaca-Kaca Dua.
Stasi Kaca-Kaca Dua memiliki sebuah kapel, meskipun kondisinya sedikit kurang baik karena dimakan usia. Sayangnya, saya belum sempat berkunjung ke Stasi Pangalengan. Meskipun Stasi Pangalengan belum memiliki kapel, tetapi umat Stasi Pangalengan tidak putus asa dan tetap setia pada iman mereka.
Kesempatan live-in ini membawa saya pada pengalaman perjumpaan yang luar biasa. Saya berjumpa dengan orang-orang yang berbeda panggilan, tetapi memiliki tujuan yang sama. Persis seperti yang dituliskan oleh St. Ignasius Loyola dalam buku latihan rohani bahwa tujuan hidup manusia adalah memuji, menghormati, serta mengabdi Allah.