Mari membawa kita membawa Gereja kita tidak hanya di sekitar altar saja tapi berani juga turun ke “pasar” – Mgr. Alexander Djajsiswaja
Mungkin kutipan kalimat tersebut selalu terngiang di telinga saya mulai saya masuk seminari Fermentum. Kata-kata dari Uskup yang bersuara berat ini terus menerus menjadi reffren ketika para frater diajak untuk lebih berani tidak hanya melulu hidup dalam “zona nyaman surgawi” tetapi berani memasuki “jalan berlumpur dan bau perjumpaan di pasar”. Ini memang suatu kisah analogi. Bahwa menjadi imam kelak kita tidak hanya mengurusi Gereja dalam kerangka liturgi dan perayaan iman. Memang ini sangat sentral dan penting tetapi juga kita tidak boleh menutup mata akan suka duka dan dinamika “pasar” yang penuh intrik budaya dan bahkan politik sekalipun.
Homo Religiosus, Homo Socius, Homo Economicus
Sebagai ciptaan Allah yang mulia manusia dilengkapo dengan perangkat hidup yang sempurna, selain fisik, akal budi, hati nurani dan iman untuk mengarahkan hidupnya mengenal alam (kosmos), manusia (homos) dan Allah (Theos). Maka dari itu berangkat dari sana manusia akan mencari Allah penciptanya sehingga ia sadar akan keterbatasan dirinya dan menjadi manusia religius ketika tahu akan keterbatasan diri dan mulai mengenal sang Khalik atau penciptanya.
Saat yang sama kita juga seperti diuraikan diatas bahwa manusia sebagai makhluk sosial (homo socialis), karena ia selalu berinteraksi dengan manusia lainnya dalam kehidupan sehari-hari, dengan bersosialisasi manusia dapat mengembangkan potensinya di masyarakat. Manusia sebagai makhluk sosial memiliki naluri untuk saling tolong menolong, setia kawan dan toleransi serta simpati dan empati terhadap sesamanya. Keadaan inilah yang dapat menjadikan suatu masyarakat yang baik, harmonis dan rukun, hingga timbullah norma, etika dan kesopan santunan yang dianut oleh masyarakat. Bila hal tersebut dilanggar atau terabaikan maka terjadilah yang dinamakan penyimpangan sosial.
Manusia sebagai makhluk sosial memiliki dua keinginan yaitu: pertama, keinginan untuk menjadi satu dengan manusia yang lain di sekelilingnya (masyarakat). Kedua, keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam di sekitarnya. Dari sini kita bisa ketahui ciri-ciri manusia sebagai makhluk sosial, adalah:
- manusia tidak dapat hidup sendiri
- manusia memiliki kebutuhan sosial (social needs), yaitu berinteraksi dengan orang lain
- manusia dapat mengembangkan potensinya, bila ia hidup di tengah-tengah manusia
Sebagai makhluk ekonomi, manusia selalu berupaya memenuhi kebutuhannya sesuai dengan ilmu dan prinsip ekonomi. Itulah sebabnya, di samping sebagai makhluk sosial, manusia juga dikenal sebagai makhluk ekonomi (homo economicus) makhluk yang berusaha mencari kepuasan dan kesejahteraan hidup dengan mempertimbangkan pengorbanan yang harus dilakukan. Artinya ia harus tahu kapan harus berkorban dan untuk apa, tentu dengan tindakan yang efisien yang menjadikannya sebagai makhluk ekonomis.
Manusia sebagai makhluk ekonomi memiliki ciri-ciri yaitu: pertama cenderung melakukan tindakan ekonomi atas dasar kepentingan sendiri. Kedua, cenderung melakukan tindakan ekonomi secara efisien (selalu memikirkan perbandingan antara apa yang dikorbankan/dikeluarkan dengan apa yang akan dicapai/hasilnya). Ketiga, cenderung memilih suatu kegiatan/aktivitas yang paling dekat dengan pencapaian tujuan yang diinginkan. Ketiga kecenderungan ini disebabkan karena kebutuhan atau keinginan manusia yang selalu bertambah sedangkan sumberdaya / pemuas kebutuhan sifatnya terbatas. Dan sebagai makhluk ekonomi, manusia memiliki:
- keinginan yang bermacam-macam
- keinginan yang jumlahnya tidak terbatas
- pemikiran yang rasional
- sifat yang tidak pernah merasa puas
“Pasar Iman” dan Dimensi Sosial Pewartaan
Tahun baru 2020 keadaan pasar ekonomi dunia mengalami percobaan berat dengan situasi yang ada. Masalah kesenjagnan ekonomi dan sosial, masalah kesehatan dan virus yang menjalar ke seluruh dunia dan problem penyelesaiannya. Dan saat yang sama juga manusia semakin disadarkan akan ketergantungannya terhadap persoalan ekonomi dan juga sosial di tengah masyarakat dan dunia. Haruskah manusia kehilangan jati dirinya sebagai “manusia spiritual” yang religius/ kutipan dari Evangili Gaudium mau mengingatkan kembal ikita bersama:”Iman yang otentik, yang tak pernah demi kenyamanan pribadi dan diri sendiri, senantiasa merupakan kehendak yang mendalam untuk mengubah dunia, untuk menyampaikan nilai-nilai baik dan untuk meninggalkan segala sesuai di belakang demi langkah-langkah baru dunia”. Semoga kita bisa mengingat diri kita sebagai makhluk religius yang manusiawi, sambil meliihat persoalan sosial dan ekonomi. Bagaiman kita mengalami itu secara real: “Turun dari Altar dan masukilah Pasar!”. Mowil.